Selasa, 24 Februari 2009

Musik gamat prosesi

MUSIK GAMAT DARI SENI PERTUNJUKAN PENTAS

KE SENI PERTUNJUKAN PROSESI

(Sebuah Tinjauan Historis)

Martarosa

Abstract

Tumbuh dan berkembangnya musik gamat khusus bentuk pertunjukan prosesi di daerah Sumatera Barat (Minangkabau), satu-satunya adalah didapati di daerah kecamatan Koto XI Tarusan. Dalam tinjauan historis bentuk awal pertunjukan musik tersebut adalah berasal dari bentuk pertunjukan yang disajikan di dalam rumah atau dipentaskan. Namun terwujudnya hal tersebut adalah berdasarkan keinginan dan kehendak yang dipelopori oleh para pekerja musik itu sendiri, ketika salah satu diantara mereka melakukan pernikahan dalam acara prosesi pengantennya. Kemudian musik gamat prosesi (bentuk baru) itu tampa disadari oleh para anggota musik gamat yang akan menikah lainnya juga tertarik untuk melakukan hal yang sama. Dengan demikian secara bertahap pertunjukan musik gamat yang berbentuk prosesi tersebut akhirnya dilegitimasi oleh masyarakat sekitarnya, sehingga dapat berkembang dan membudaya sampai sekarang ini.

Kata Kunci: Musik Gamat dan Historis

MUSIK GAMAT:

DARI SENI PERTUNJUKAN PENTAS

KE SENI PERTUNJUKAN PROSESI

Martarosa, S.Sn., M.Hum.

I. PENGANTAR

Ditilik musik gamat dari seni pertunjukan pentas ke seni pertunjukan prosesi di daerah Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tentunya tidak akan terlepas berbicira tentang sejarah tumbuh dan berkembangnya musik gamat di daerah pesisir Minangkabau. Menurut Navis, ditinjau dari asal-usulnya musik gamat yang berkembang di daerah Pesisir Minangkabau, berkemungkinan dikenalkan oleh orang Portugis melalui pelaut Melayu. Dimana musik gamat tersebut merupakan kesenian bandar tempat kapal berlabuh dan keperluan hiburan anak kapal yang sifatnya sama dengan joget dari kesenian Melayu. Hal ini terbukti bahwa adanya kesan Portugis, karena adanya instrumen biola dan nyanyian yang salah satunya bernama kaparinyo (berasal dari kata caprecciol atau capreccio yang artinya; lincah, atau riang jenaka). Begitu juga instrumen yang dipakai pada musik gamat awalnya hanya terdiri dari biola dan gendang, karena tangganadanya diatonis sehingga instrumen Barat lainnya juga dapat dimainkan.[1]

Bertitik-tolak dari pendapat tersebut, pada tulisan ini penulis mencoba meninjau kembali dan melengkapi sekilas tentang informasi dan fakta yang mendukungnya. Salah satu fakta pendukung itu dapat dibuktikan dengan adanya koleksi foto rombongan musik awal abad ke-20 dalam buku Padang Riwayatmu Dulu, seperti terlihat pada gambar 1 sebagai berikut.


Gambar 1

Sebuah kelompok musik di kota Padang pada awal abad ke-20

(Direpro dari buku Padang Riwayatmu Dulu) [2]

II. ORIENTASI PEMIKIRAN

Ditilik dari sisi sosial ekonomi masyarakat Minangkabau dan masyarakat Melayu (Malaka) cukup lama menjalin hubungan perdagangan seperti diungkapkan oleh Dobin sebagai berikut.

…Munculnya Kesultanan Malaka dalam abad kelima belas memantapkan keamanan di selat, dan emas Minangkabau menjadi salah satu penopang utama perdagangan Malaka, dan situasi ini berlanjut selama abad ke enam belas dan awal abad ketujuh belas setelah Malaka jatuh ketangan Portugal… Sementara perdagangan emas Minangkabau timur dengan dunia Selat Malaka berlanjut setelah Portugis menguasai Malaka, daerah Selo di Tanah Datar bisa melakukan perdagangan emas melalui pantai barat, dibawah pengawasan Bendahara Sungai Tarab.[3]

Selanjutnya banyak tanda-tanda bahwa orang Portugis pernah bermukim di Padang atau kota-kota pantai barat Sumatera lainnya, seperti diungkapkan oleh Rusli Amran yang ceritanya berasal dari Diogo de Couto sebagai berikut.

Dalam bulan April 1560, sebuah kapal bernama S Paulo dengan kapten Ruy de Mello, meninggalkan Lisabon tujuan Brazil. Maksud semula untuk tinggal agak lama di Brasil, tetapi karena keadaan kapal tidak baik, kapten memutuskan agar meneruskan pelayaran arah pulau Sumatera, melalui Selat Sunda ke India. Kapal S Paulo meninggalkan Brasilia, tanggal 15 September 1560 dan tanggal 20 Januari 1561 telah melihat pantai barat Sumatera sedikit agak keselatan Khatulistiwa. Rupa-rupanya arus angin dan gelombang menarik kapal ke arah utara. Walaupun awak kapal bekerja sepenuh tenaga, namun kapal akhirnya terhempas juga ke pantai dan semua terpaksa meninggalkan kapal. Penduduk di tepi laut yang menerima mereka terdiri dari orang-orang miskin yang berusaha menjual hasil-hasil mereka pada para orang asing itu. Portugis tidak takut atas serangan raknyat setempat, karena yang terdampar itu jumlahnya tidak sedikit, sekitar 700 orang. Maka mulailah mereka mendirikan gubuk-gubuk ala kadarnya. Semua isi kapal diturunkan ke darat dan dari kayu-kayu bekas kapal yang masih dapat dipakai, mereka berhasil membuat dua perahu kecil. Oleh karena perahu-perahu ini tidak sanggup menampung semua orang, maka hanya tiga perempat dari jumlah mereka menyusur pantai dalam perahu. Selebihnya berjalan kaki tetapi bersamaan dengan perahu-perahu tersebut yang tidak lepas dari pandangan mata mereka. Tiap malam, perahu-perahu tadi berlabuh di pantai dan semua bisa berkumpul. …Demikian yang ditulis Diogo de Couto. Karena dia sendiri mendengarnya dari orang lain dan baru menulis dari satu abad sesudah peristiwanya, bisa dimengerti kalau banyak hal-hal dalam tulisannya yang kurang jelas. Pertama-tama mengenai lokasinya. Disebut tiga derajat lintang selatan. Kalau di kota Padang dan sekitarnya dianggap paling banyak peninggalan kebudayaan Portugis, maka mungkin yang dimaksud penulisnya adalah 1 derajat lintang selatan. (3 derajat jatuh sedikit di selatan Mukomuko, 2 derajat dekat Indrapura sedangkan 1 derajat di Padang). Atau di sepanjang pantai antara Padang dan Painan.[4]

Hal yang bersamaan juga dipertegas oleh Hamka sebagai berikut.

Di Pariaman terjadi perebutan kekuasaan Portugis dengan Aceh, masyur di dalam dongeng pahlawan raja ”Nan Tunggal Megat Jabang”, pahlawan Aceh dengan raja Sipatokah (Portugis) merebut kuasa di pantai Pariaman. Di zaman Iskandar Muda Mahkota Alam ,raja Aceh yang paling masyur dan besar, yang mula memerintah tahun 1604, amatlah besar pertentangan itu. Waktu itulah sengit perebutan pengaruh dengan Barat.[5]

Fakta lain juga dibuktikan dengan adanya peniggalan budaya Portugis berupa pakaian pengantin yang berkembang di daerah Pesisir Sumatera Barat, seperti diungkapkan Dada Meuraxa sebagai berikut.

… Pakaian pengantin laki-laki pesisir yang disebut baju Marapulai adalah suatu saduran dari pakaian bangsawan Portugis dengan tutup kepala (destar) gaya Persia. Oleh karena baju Marapulai diberi juga nama julukan baju “Rajo Sipatoka”. Artinya pakaian raja Portugis (kata Portugis oleh orang Sumatera Barat di zaman dulu kala disebut “Patoka”). Pakaian pengantin perempuan yang disebut “Baju Anak Daro”, dipengaruhi oleh perhiasan Tiongkok dan Indo Cina.[6]

Selanjutnya, dengan berhasilnya Portugis menduduki kota Malaka pada tahun 1511,[7] dan banyak tanda-tanda yang ditemukan di daerah Pesisir Sumatera Barat seperti yang diuraikan di atas, berkemungkinan memberi pengaruh terhadap perkembangan musik di Semenanjung Melayu dan Minangkabau. Hal ini dapat dibuktikan pada jenis alat-alat musik yang dimainkan seperti; biola, gitar, accordeon, dan gendang. Begitu juga lagu yang berjudul kaparinyo yang merupakan lagu utama dalam pembukaan pertunjukan musik gamat atau disebut sebagai lagu persembahan juga dipengaruhi oleh Portugis seperti ditegaskan oleh Rusli Amram “…Anda tentu kenal lagu kaparinyo yang begitu populer di Padang. Lagu ini, walaupun sedikit perbedaan, hingga kini masih dilagukan di Portugal”.[8]

Dari beberapa uraian di atas terlihat bahwa, hubungan sosial budaya antara masyarakat Minangkabau baik pribumi maupun perantau dengan masyarakat Melayu di Pulau Sumatera bagian Timur atau Semenanjung Melayu, terjadinya saling mempengaruhi dalam perkembangan musik. Hal tersebut terlihat pada pengggunaan instrumen dan salah satu lagu berjudul kaparinyo yang dipengaruhi oleh Portugis sebagai ekspresi musikal budayanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya musik gamat sebagai budaya masyarakat Pesisir Minangkabau dan begitu juga musik Melayu sebagai budaya masyarakat di Semenanjung Melayu adalah hasil saling mempengaruhi budaya antara; Minangkabau, Melayu dan Portugis.

Berkaitan dengan uraian di atas, keberadaan musik gamat di kota Padang Rizaldi juga mengungkapakan bahwa kalau ditilik dari ciri-ciri musik tersebut, yaitu melalui instrumen musik yang digunakan diantaranya: biola, accordeon, dan gitar, jelas kesemuanya itu adalah hasil teknologi budaya Barat dan berbeda konsepnya dengan instrumen musik pribumi Minangkabau, baik dari bentuk fisik maupun sistem tangga nada maupun harmoni. Dalam hal ini bagi masyarakat pribumi khususnya Padang (Minangkabau Pesisir), instrumen musik tersebut diadaptasikan dengan budaya musik masyarakat setempat, sehingga lahirlah genre musik baru yang disebut gamat. Sebalik-nya unsur budaya musik pribumi yang dapat dibaurkan dengan instrumen musik Barat antara lain: vokal, karena instrumen ini sifatnya fleksibel dapat menyesuaikan dari berbagai macam tangganada dan instrumen. Dengan demkian akan terlihatlah bahwa keberadaan musik gamat dikota Padang adalah merupakan sebuah akulturasi antara budaya pribumi dan budaya Barat,[9] yang meliputi; Minangkabau, Melayu, dan Portugis.

Tumbuh dan berkembangnya musik gamat di kota Padang adalah sejak tahun 1920-an, yang fungsi awalnya adalah sebagai hiburan keluarga dan terus berkembang, sehingga digunakan untuk acara perhelatan perkawinan. Sungguhpun pada masa itu, musik gambus dan keroncong juga ikut berkembang, tetapi kehadirannya tidak mempengaruhi perkembangan musik gamat di kota tersebut. Namun semenjak itulah dinamikan musik gamat di kota Padang berkembang sampai sekarang,[10] dapat dijadikan budaya tradisional dalam berbagai acara pesta perkawinan baik oleh masyarakat Padang maupun masyarakat pesisir Minangkabau lainnya.

III. TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA MUSIK GAMAT

A. Musik Gamat Sebagai Seni Pertunjukan Pentas

Bertitik tolak dari keberadaan musik gamat di kota Padang, sangat berpengaruh sekali tumbuh dan berkembangnya musik gamat di kecamatan Koto XI Tarusan, karena secara geografis kota Padang merupakan daerah perbatasan wilayah utara Kecamatan Koto XI Tarusan. Dengan demikian, tak mengeherankan kedua daerah ini mempunyai kebudayaan relatif sama, karena terletak dikawasan pantai yang berdekatan disebut daerah Rantau Pesisir Minangkabau.

Menurut seorang ulama dan juga sebagai musisi, Khatib Mahyuddin mengatakan, bahwa kehadiran musik gamat di kecamatan Koto XI Tarusan adalah dilatar belakangi oleh tumbuh dan berkembangnya musik gambus pada tahun 1930 sampai pada tahun 1945. Oleh karena sebagian besar pemain musik gamat pada masa itu berasal dari kelompok musik gambus, maka kehadiran musik tersebut merupakan jembatan untuk berdirinya musik gamat.[11]

Berkembangnya musik gambus di daerah kecamatan Koto XI Tarusan adalah hasil belajar yang didapat oleh khatib Mahyuddin dari kota Padang, pada saat itu ia sekolah (mengaji agama) Tarbiah Islamiah di Teluk Bayur dan Gauang Padang. Musik ini dikembangkannya di daerah kecamatan Koto XI Tarusan, bersama temannya bernama Yusup, pada saat itu ia memainkan harmonium, sedangkan Yusup memainkan biola. Berdasarkan kreatifitas dari kedua orang tersebut, sehingga terbentuklah permainan musik duet dan berkembang sampai menjadi sebuah kelompok musik gambus. Namun instrumen musik yang dimainkan juga berkembang meliputi; biola, gitar, harmonium, gambus, benyol, kulele, rumba, marwas, tipa, gendang dan instrumen lainnya. Pesatnya perkembangan musik gambus tersebut dapat digunakan untuk acara-acara adat-istiadat seperti acara perhelatan perkawinan, bahkan pertunjukannya sampai keluar dari wilayah Kecamatan Koto XI Tarusan seperti Bayang (Pasar Baru). Namun musik ini tidak bertahan lama karena kalah saingan dengan tumbuhnya dan berkembangnya musik gamat dan orkes (penamaan kelompok musik).[12]

Menurut Nazaruddin seorang musisi musik gamat mengatakan bahwa kehadiran musik gamat di kecamatan Koto XI Tarusan sudah ada semenjak tahun 1932. Pada saat itu kelompok musik gamat bernama Muda Setia. Adapun jenis instrumen yang dimainkan adalah terdiri dari; biola, harmonium, gitar, gendang dan tambourin. Keberadaan musik gamat pada waktu itu, hanya berfungsi untuk kepuasan dan hiburan para pemain dan keluarga (belum digunakan untuk acara pesta perkawinan). Namun tumbuh dan berkembang musik gamat di kecamatam Koto XI Tarusan adalah bawaan dari pemuda-pemuda daerah tersebut yang pada saat itu banyak berkerja di Padang maupun sebagai

pelajar dan sebagainya.[13]

Menurut Sutan Darwis, sejak tahun 1940 terbentuknya organisasi pemuda bernama KASGAN di kecamatan Koto XI Tarusan yaitu untuk menampung wadah berbagai kegaitan seperti kesenian dan olah raga. Semenjak ada organisasi tersebut terjadinya dikotomi jenis musik yaitu musik gamat dan orkes. Kehadiran kelompok orkes pada saat itu hanya berfungsi sebagai hiburan dan kepuasan para pemain saja, kalau ada digunakan masyarakat untuk acara-acara perhelatan perkawinan sangat jarang sekali. Kecuali acara-acara yang sifatnya untuk para keluarga anggota atau pemain itu sendiri. Adapun instrumen yang dimainkan pada kelompok orkes terdiri dari; biola, gitar, string bass, accordeon, conga, tipa, gendang, kolele dan sebagainya. Namun pada akhirnya lima tahun kemudian musik orkes mengalami berkembangan, tidak saja difungsikan sebagai hiburan pribadi para pemain saja, akan tetapi sudah mulai digunakan untuk acara perhelatan perkawinan.[14]

Tak mengherankan semenjak berdirinya organisasi pemuda itu pulalah fungsi musik gamat di tengah-tengah masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, mulai berkembang dari pada masa sebelumnya, keberadaannya tidak saja sebagai hiburan para pemain dan keluarga, akan tetapi sudah digunakan untuk acara-acara adat-istiadat seperti acara perhelatan perkawinan. Oleh karena musik ini sudah merupakan suatu wadah pertunjukan dalam kegiatan sosial budaya masyarakat, maka disiplin dalam kegiatan seperti, latihan, pertunjukan, bahkan tata kerama sebagai pemainpun sudah mulai diperhatikan, sesuai dengan aturan-aturan yang ada pada kelompok musik tersebut. Bentuk pertunjukan pada saat itu belum memakai pentas hanya bermain di dalam rumah. Tata kerama bermain di dalam rumah ini, sesuai dengan aturan kedisiplinan mereka, si pemain tidak boleh berpindah-pindah tempat duduk yang telah ditentukan dari awal bermain musik gamat sampai akhir, sungguhpun mereka ada yang bernyanyi berdiri atau menari dan sebagainya, namun mereka harus kembali ke tempat duduk asalnya. Selanjutnya para pemain yang berada di tempat pertunjukan (di rumah perhelatan) tidak boleh melihat-lihat kekamar pengantin, karena secara adat dianggap tidak sopan. Kalau hal demikian terjadi ada sanksi bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut. Dengan demikian pada waktu itu di daerah kecamatan Koto XI Tarusan sudah adanya tata tertib atau aturan-aturan kedisiplinan dalam mewujudkan sebuah pertunjukan musik.

Pada tahun 1974-1985 kelompok musik orkes mengalami perubahan dengan tumbuh dan berkembangnya musik band dengan berbagai instrumen elektronik, sehingga sebagian pemain orkes yang muda-muda berpindah pada kelompok musik tersebut. Instrumen pada kelompok musik band meliputi; tiga buah gitar elektrik (masing-masingnya digunakan untuk permainan melodi, akor, dan bass), seperangkat drums, dan vokal dan seperangkat sound sistem. Dengan munculnya teknologi elektronik untuk musik band, jenis lagu-lagu yang disajikan tidak saja meliputi; pop, rock, melayu dan dangdut, tetapi sudah dimulai juga penggabungannya dengan kelompok musik gamat. Adapun fungsinya adalah sebagai hiburan yang digunakan dalam acara pesta perkawinan. Sudah merupakan kebiasaan dalam acara perhelatan perkawinan pertunjukan musik band dilaksanakan pada siang hari, sedangkan untuk penggabungan musik gamat dengan musik band yang secara aturan pertunjukannya tetap membawakan lagu-lagu gamat dilaksanakan pada malam hari. Pada saat itu pulalah tempat pertunjukan berpindah dari dalam rumah ke atas pentas, karena situasinya tidak memungkin lagi dimainkan didalam ruangan tertutup.[15]

Pada tahun 1986 berdasarkan pengamatan penulis, kedua jenis musik ini kalah bersaing dengan masuknya kibord elektrik yang memiliki teknologi canggih, dimana dengan bermacam-macam jenis musik yang dimainkan oleh satu orang musisi untuk mewujudkan musik yang diinginkannya, cukup melalui satu instrumen saja, yang secara keseluruhan dapat disajikan melalui program kibord elektrik tersebut. Hal lain disebabkan instrumen elektronik yang dimiliki oleh kelompok musik band dan gamat ini, disamping tidak mampu lagi bersaing dengan perkembangan zaman, juga tidak mampunya organisasi mereka membeli instrumen elektronik baru yang harganya relatif mahal.

Secara ekonomis keberadaan musik kibord elektrik ini disamping biaya jem-putannya relatif kecil, dibandingkan dengan musik band dan gamat, dan terjangkau oleh masyarakat umum, sehingga cenderung masyarakat berpikir praktis terhadap pengguna-an musik kibord elektrik yang efisien itu. Status musik kibord elektrik ini bukan milik organisasi akan tetapi adalah milik anggota masyarakat itu sendiri yang sifatnya pribadi. Dengan munculnya musik tersebut, akibatnya kedua jenis musik seperti band dan gamat yang dilengkapi oleh peralatan elektronik sederhana itu, mengalami kemacetan dalam perkembangannya. Oleh karena itu, khusus musik gamat yang bentuk pertunjukannya dipentaskan, keberadaanya tidak bertahan lama dalam masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan. Dengan demikian khusus musik gamat bentuk pertunjukannya kembali digelar di rumah, sungguhpun kegunaan dan fungsinya tidak sepopuler yang bentuk pertun-jukannya dipentaskan, dan mereka harus bersaing dengan musik kibord elektrik, namun tetap saja bertahan pada posisi semula yang bentuk pertunjukannya seperti terlihat pada gambar 2 Sebagai beirkut.


Gambar 2

Salah satu kelompok musik gamat di Kecamatan Koto XI Tarusan

Sedang latihan yang bentuk pertunjukannya disajikan di dalam rumah atau dipentaskan (Foto Martarosa)

B. Musik Gamat Sebagai Seni Pertunjukan Prosesi

Berdasarkan pokok pikiran dan uraian di atas, tak mengherankan bahwa perubahan mungkin saja terjadi, karena keinginan-keinginan kelompok masyarakat atau keinginan individu-individu yang ada dalam kelompok masyarakat pendukungnya. Dalam artian, ketika ada suatu krisis dalam masyarakat yang bersangkutan, berarti bahwa dalam masyarakat itu ada sejumlah orang yang menentang keadaan karena mereka sadar akan kekurangan-kekurangan yang ada dalam masyarakat sekelilingnya dan tidak merasa puas dengan keadaan itu.[16]

Tak dapat dipungkiri bahwa tanpa adanya kemampuan untuk menciptakan gagasan baru dan mengubah pola laku yang ada, tidak ada masyarakat manusia yang dapat bertahan. Sungguhpun kebudayaan tersebut kokoh, mantap, tetapi kadang-kadang dengan kelenturannya juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang berubah.[17] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan merupakan karakteristik dari semua kebudayaan yang dilakukan oleh para individu-idividu atau kelompok-kelompok, sehingga dapat berkembang menurut tuntutan zaman.

Berkembangnya suatu kebudayaan sesuai dengan tututan zaman, adalah produksi perubahan dari waktu ke waktu karena bermacam-macam sebab. Hal yang demikian dipertegas oleh Havilland sebagai berikut.

Semua kebudayaan pada suatu waktu berubah karena bermacam-macam sebab. Salah satu sebabnya adalah perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Sebab lain adalah bahwa, melulu karena kebetulan, atau karena sesuatu sebab lain, suatu bangsa mungkin mengubah pandangannya tentang lingkungannya dan tentang tempatnya sendiri di dalamnya. Atau, kontak dengan bangsa lain mungkin menyebabkan diterimanya gagasan “asing”, yang menyebabkan perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakuan yang ada. Ini bahkan dapat berupa pemasukannya secara besar-besaran tatacara asing melalui penaklukan kelompok yang satu oleh kelompok yang lain.[18]

Berkaitan dengan masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, baik yang tradisional maupun yang modern, selalu ada keyakinan yang bersifat kontradiktif terhadap warisan budaya dan perubahan yang terjadi di dalamnya. Hal ini pada sati sisi mereka menyadari, “sekali air besar sekali tepian berubah”. Dalam artian, bahwa aturan adat-istiadat mereka dapat menyesuaikan diri dengan gerak perkembangan zaman dan mereka menyadari adanya sesuatu yang harus mereka terima dari perkembangan keadaan dan perubahan tersebut.

Pada sisi lain, juga ada pandangan yang melihat segala sesuatunya harus dipertahankan, karena ada keyakinan bahwa mereka harus memilihara dan menjaga “warisan budaya” yang diterima dari nenek moyang mereka. Dengan demikian pada dasarnya masyarakat yang paling tradisional pun, dapat “menerima” adanya perubahan, walaupun kadang-kadang dihadapi dengan sikap kritis dan hati-hati. Namun dalam sosio-kultural masyarakat setempat, antara kehendak untuk melakukan perubahan, atau memperbarui sesuatu yang mereka miliki dengan keinginan untuk “mempertahankannya”, lebih sering berjalan seiring, sehingga menjadi sumber dinamika dan kekuatan budaya dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman.[19]

Pada umumnya perkembangan kesenian yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat selalu mengikuti proses perubahan. Menurut Soemardjan, cepat atau lambat proses perubahan tersebut dapat berlangsung adalah tergantung pada sikap golongan di dalam masyarakat yang menerimanya. Hal demikian cenderung terjadi pada generasi muda yang karena umurnya masih merasa bebas untuk membentuk hari depannya, terutama generasi terpelajar di dalam masyarakat kota, menunjukan gejala lebih mudah menerima unsur-unsur kebudayaan lain dari pada yang sudah mereka alami. Lebih lanjut penegasan tersebut dijelaskannya sebagai berikut.

… generasi muda pada umumnya cenderung untuk menghargai hal-hal yang baru, juga dalam bidang kesenian, sehingga generasi muda itu cenderung untuk memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kesenian dalam bentuk dan penampilan yang baru pula. Dalam proses meningkatnya umur para warga generasinya maka lambat laun generasi muda itu menjadi generasi dewasa, dan kemudian menjadi generasi tua yang konservatif dan mempertahankan kebudayaan serta kesenian yang mereka kenal dalam hidup mereka. Secara umum dapat dikatakan bahwa generasi tua berfungsi memelihara kelestarian kebudayaan untuk diwariskan kepada generasi muda yang menyusulnya. Adapun generasi muda berfungsi menerima dan memanfaatkan segala unsur kebudayaan yang mereka warisi, tetapi dengan diadaptasikan melalui inovasi-inovasi supaya lebih sesuai dengan keperluan hidup yang nyata dan mengikuti selera zaman yang mereka alami.[20]

Berkaitan dengan musik secara khusus Kaemmer mengungkapkan bahwa, “music change is basically seen today as variation in the replication of cultural norms as they pass from generation to generation”.[21]

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba mengamati kehidupan seni pertunjukan rakyat, khususnya yang berubah dan berkembang dalam masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan. Adapun perubahan yang dimaksud pada salah satu seni pertunjukan tersebut adalah musik gamat yang bentuk pertunjukannya semula di sajikan di dalam rumah atau dipentaskan, menjadi pertunjukan prosesi yang semakin membudaya dalam masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan.

Dengan adanya fenomena perubahan bentuk penyajian tersebut pertanyaan yang timbul adalah; sejak kapan dan siapa yang mempelopori pertunjukan musik gamat dalam bentuk prosesi tersebut. Dalam kenyataannya bentuk penyajian prosesi musik gamat telah berkembang dan membudaya dalam masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan sampai saat ini. Sudah barang tentu untuk mengetahui secara pasti prihal pelaku dan sejarah prosesi tersebut bukanlah hal yang mudah. Namun beberapa informan diasumsikan seperti berikut.

Menurut Sutan Darwis,[22] sebelum munculnya musik gamat sebagai musik prosesi pada tahun 1940, sudah ada musik prosesi yang dinamakan fluit (penamaan jenis musik khususnya di saerah kecamatan Koto XI Tarusan). Adapun instrumen yang dimainkan terdiri dari; suling bambu, biola, dan gitar. Dalam artian bentuk musik yang dimainkan adalah bersifat musik instrumental. Namun musik ini juga sudah digunakan untuk upacara-upacara adat perhelatan perkawinan yang bersifat prosesi seperti musik gamat sekarang.

Sekitar tahun 1952, barulah muncul musik gamat sebagai musik prosesi sebagai pengganti dari musik fluit. Instrumen yang dimainkan terdiri dari; biola, gitar, gendang, tambourin dan vokal. Corak lagu yang dimainkan adalah berbentuk joget. Pada waktu itu musik gamat sebagai musik prosesi, baru ada satu kelompok untuk melayani para peminatnya dalam masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan. Adapun pada saat itu kehadiran para generasi muda dalam berorganisasi sangat kompak sekali. Kekompakan tersebut membuat seluruh kegitan pemuda baik olah raga maupun kesenian berjalan dengan baik. Dalam artian, sewaktu kelompok musik gamat sebagai musik prosesi ini di undang oleh peminatnya untuk acara-acara perhelatan, tak mengherankan seluruh pemuda juga ikut berprosesi. Sungguhpun tidak semua pemuda tersebut ikut telibat bernyanyi dalam penyajian musik tersebut.

Pada waktu itu disiplin bermain musik ketat sekali baik dari proses mempelajarinya, maupun proses pertunjukannya. Mereka juga sudah dikenal dengan sopan santun serta tata tertib ketika melakukan upacara adat yang bersifat prosesi itu.

Sungguhpun sebelumnya musik talempong pacik sebagai musik prosesi yang berbentuk etnis Minangkabau asli juga sudah ada.

Lebih lanjut Sutan Darwis mengatakan bahwa, orang yang suka musik gamat pertanda prilakuknya agak ke kota-kotaan, sebaliknya kalau suka musik talempong pacik agak ketradisionalan. Sekarang ini peminatnya hanya didapati di daerah-daerah pedalaman kecamatan Koto XI Tarusan antara lain; Sungai Tawar, Sungai Nyalo, Sungai Pinang, dan Mandeh, seperti pada gambar 3 sebagai berikut:


Gambar 3

Bentuk pertunjukan prosesi musik talempong pacik

Menurut Nazaruddin,[23] berpendapat bahwa ialah yang pertama kali memunculkan musik gamat sebagai musik prosesi. Dimana pada waktu itu beliau menikah pada tahun 1952, sebagai mempelai beliau diprosesikan dari rumah orang tua beliau sendiri ke tempat calon isterinya. Upacara prosesi ini dilaksanakan pada malam hari jam 24.00. Ide yang demikian adalah merupakan hasil mufakat mereka bersama dengan sesama anggota kelompok musik gamat yang bentuk pertunjukannya disajikan di dalam rumah atau dipentaskan. Oleh karena anggota kelompok musik gamat pada waktu itu banyak yang muda-muda (belum kawin), sehingga musik gamat yang diprosesikan (bentuk baru) itu bergilir antar sesama mereka untuk mempergunakannya dalam acara perhelatan mereka sendiri. Dengan demikian peminat musik ini berkembang disamping untuk kelompok sesama pemain musik gamat itu sendiri, juga diminati oleh famili-famili terdekat masing-masing mereka. Kelompok ini bertahan sampai pada tahun 1966, yang dipimpin oleh teman beliau bernama Kami yang bertempat di Pasar Tarusan. Bertitik-tolak dari hal yang demikian pada waktu itu keberadaan musik gamat sebagai musik prosesi, sungguhpun baru ada satu kelompok namun dapat berkembang keseluruh lapisan masyarakat di kecamatan Koto XI Tarusan.

Pada tahun 1967 kelompok musik gamat sebagai musik prosesi ini berkembang menjadi dua kelompok terdiri dari; kelompok pertama dipimpin oleh Nazaruddin sendiri, sedangkan kelompok kedua dipimpin oleh teman beliau bernama Saat (almarhum). Adapun kedua kelompok musik tersebut dapat berkembang sampai sekarang, meskipun salah satu dari ketua kelompok tersebut sudah meninggal, namun telah dilanjutkan oleh generasi berikutnya bernama Sawir (Nanggalo). Pada tahun 1991 muncul lagi kelompok musik gamat berikut juga dipimpin oleh seorang pemain musik gamat bernama Indra (Anau Carocok).

Sepesialisai ketrampilan yang dimiliki dari masing-masing ketua kelompok musik gamat sebagai musik prosesi seperti Sawir dan Indra adalah sebagai pemain biola. Ketrampilan bermain biola yang dimilikinya disamping adanya usaha keras mereka sendiri secara alami untuk mempelajarinya juga banyak belajar kepada Nazzaruddin. Dengan demikian kehadiran Nazaruddin dapat dikatakan sebagai guru dalam musik gamat juga sebagai pemain biola tertua atau dianggap senior dalam musik tersebut di kecamatan Koto XI Tarusan sampai sekarang ini.

Berkaitan dengan instrumen musik yang dimainkan, adapun sebelumnya terdiri dari: biola, gitar akustik, gendang, tambourin, dan vokal. Semua instrumen ini dimainkan secara murni (non elektrik). Menurut Azman BK.,[24] dengan munculnya peralatan elektronik sebagai pengeras suara pada tahun 1974, membawa pengaruh terhadap warna bunyi instrumen yang disajikan oleh kelompok musik gamat sebagai musik prosesi. Sesuai dengan kemampuan kelompok untuk memiliki peralatan elektronik hanya satu buah, maka alat tersebut hanya dapat digunakan untuk dua instrumen dalam penyajian musik tersebut. Instrumen yang diberi alat pengeras suara adalah biola dan vokal, sedangkan untuk instrumen gendang dan tambourin tetap dimainkan secara musik murni. (non elektronik).

Untuk instrumen gitar akustik ternyata secara musikal kehadirannya tanpa alat pengeras suara tidak lagi seimbang dalam produksi bunyi yang dihasilkan, sehingga semenjak itu pula untuk instrumen gitar akustik tidak lagi disajikan dalam musik gamat sebagai musik prosesi. Adapun secara musikal instrurmen yang disajikan sampai saat ini sama dengan musik gamat yang bentuk pertunjukannya disajikan di dalam rumah atau dipentaskan yang terdiri dari: biola, gendang, tambourin dan vokal, seperti terlihat pada gambar 3 sebagai berikut.


Gambar 4

Bentuk pertunjukan prosesi musik gamat

(Foto Martarosa)

Dalam bentuk penyajian yang lain, Azman BK. disamping sebagai kepala desa juga sebagai seorang seniman musik, beliau juga ikut membuat eksperimen tentang bentuk penyajian musik gamat sebagai musik prosesi. Bagi beliau untuk memainkan melodi musik tersebut tidak hanya melalui instrumen seperti, biola, accordeon, harmonium dan sebagainya, akan tetapi juga dapat disajikan melalui instrumen gitar electrik. Bentuk penyajian musik tersebut pernah beliau sajikan dari tahun 1977 sampai pada tahun 1984. Hal ini dilanjutkan oleh musisi lain sampai sekarang. Namun kehadiran kelompok musik tersebut, tidak sepopuler musik gamat sebagai musik prosesi seperti telah diuraikan di atas, seperti terlihat pada gambar 4 sebagai berikut.


Gambar 5

Bentuk pertunjukan prosesi musik gamat dalam bentuk lain yang melodinya disajikan melalui instrumen gitar elektrik (Foto Martarosa)

Oleh karena itu jumlah kelompok musik gamat sebagai musik prosesi yang berkembang di kecamatan Koto XI Tarusan pada saat ini ada empat kelompok yang terdiri dari; tiga kelompok yang melodinya disajikan melalui instrumen biola, sedangkan yang satu kelompok lagi melodinya disajikan melalui gitar elektrik.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelepor pelaku perubahan bentuk pertunjukan musik gamat dari bentuk pertunjukan yang disajikan di dalam rumah atau dipentaskan ke bentuk pertunjukan prosesi dalam budaya masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, adalah para pekerja musik itu sendiri. Secara bertahap dengan proses waktu yang cepat, sehingga dapat dilegitimasi oleh masyarakat pendukungnya sampai sekarang ini.

IV. KESIMPULAN

Pada sebuah artikel yang ditulis oleh Ike Halim, “Haluan”, 1977, dimuat berita tentang kesenian gamat di Pesisir Selatan. Dikatakan bahwa kesenian yang sering diadakan pada acara-acara pesta perkawinan yang sekarang ini sudah langka tersebut banyak digemari kaum muda apalagi kaum tua. Oleh karena kesenian Minang yang berasal dari tanah Melayu itu tidak diwariskan pada generasi yang sekarang, makanya jarang ditemukan. Lainnya halnya di Kecamatan Koto XI Tarusan, kesenian gamat ini dapat ditemui disetiap prosesi penganten atau perhelatan lainnya sebagai musik iringannya.

Berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh Ike Halim, maka sangat kuat dugaan bahwa keberadaan musik gamat di daerah Kecamatan Koto XI Tarusan adalah merupakan, hubungan sosial budaya antara masyarakat Minangkabau baik pribumi maupun perantau dengan masyarakat Melayu di Pulau Sumatera bagian Timur atau Semenanjung Melayu, terjadinya saling mempengaruhi dalam perkembangan musik. Hal tersebut terlihat pada pengggunaan instrumen dan salah satu lagu berjudul kaparinyo yang dipengaruhi oleh Portugis sebagai ekspresi musikal budayanya. Untuk hal tersebut dapat dikatakan bahwa, tumbuh dan berkembangnya musik gamat sebagai budaya masyarakat Pesisir Minangkabau dan begitu juga musik Melayu sebagai budaya masyarakat di Semenanjung Melayu adalah hasil saling mempengaruhi budaya antara; Minangkabau, Melayu dan Portugis.

Keberadaan musik gamat di tanah Minangkabau khususnya kota Padang sangat berpengaruh sekali bagi tumbuh dan bekembangnya musik gamat di daerah kecamatan Korto XI Tarusan, karena secara geografis kota Padang merupakan daerah perbatasan wilayah utara kecamatan Koto XI Tarusan. Dalam artian tak mengherankan kedua daerah ini mempunyai kebudayaan relatif sama, karena terletak dikawasan pantai yang berdekatan disebut Rantau Pesisir Minangkabau.

Tumbuh dan berkembangnya musik gamat khusus bentuk pertunjukan prosesi di daerah Sumatera Barat (Minangkabau), satu-satunya adalah terdapat di daerah kecamatan Koto XI Tarusan. Secara historis pada awal bentuk pertunjukan musik tersebut adalah berasal dari bentuk pertunjukan yang disajikan di dalam rumah atau dipentaskan. Namun terwujudnya hal tersebut adalah berdasarkan keinginan dan kehendak yang dipelopori oleh para pekerja musik itu sendiri, ketika salah satu diantara mereka melakukan pernikahan dalam acara prosesi pengantennya. Dengan demikian musik gamat prosesi (bentuk baru) itu tampa disadari oleh para anggota musik gamat yang belum menikah lainnya juga tertarik untuk melakukan hal yang sama. Secara bertahap dengan proses waktu yang cepat pertunjukan musik gamat yang berbentuk prosesi tersebut akhirnya dilegitimasi oleh masyarakat sekitarnya, sehingga dapat berkembang dan membudaya sampai sekarang ini.

Catatan

1. A.A. Navis, 1982, “Seni Minangkabau Tradisional Sumbangan Budaya Dalam Pembangunan Nasional”, dalam Analisis Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta, p. 96-97.

2. Rusli Amran, 1988, Padang Riwayatmu Dulu, CV. Yasaguna Jakarta, p. 192.

3. Christine Dobbin, 1992, Kibangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, Terjemahan Lillian D. Terjemahan, INIS, Jakarta, p. 74-75.

4. Ibid., p. 151-152.

5. Hamka, Islam Dan Adat Minangkabau, Penerbit PT. Pustaka Panjimas, Jakarta. p. 11.

6. Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Sumatera, Firman Hasmar, Medan. p. 467.

7. Rusli Amran, 1981, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan, Jakarta, p. 80.

8. Op. cit., 1988, p. 149.

9. Rizaldi, 1995, Musik Gamat Di Kotamadya Padang: Sebuah Bentuk Akulturasi Antara Budaya Pribumi Dan Budaya Barat, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, p. 135.

10. Ibid, p. 66-68.

11. Khatib Mahyuddin, adalah sebagai; ulama, khatib, Imam, dan musisi di daerah Kecamatan Koto XI Tarusan. Sebagai musisi beliau memiliki ketrampilan musik; harmonium, benyol, semenjak tahun 1930-1945, sedangkan dikia rebana serta vokalis semenjak tahun 1945-1980, (pengertian orkes hanya sebagai penamaan kelompok musik, pen).

12. Ibid.

13. Nazaruddin disamping sebagai musisi musik gamat, baik yang bentuk pertunjukannya dipentaskan maupun berbentuk prosesi, beliau juga seorang guru atau pelatih musik gamat di Kecamatan Koto XI Tarusan. Ketrampilan musik yang dimiliki; biola, dan gitar, sudah dimulai sejak tahun 1935 sampai sekarang

14. Sutan Darwis adalah sebagai musisi yang meliputi; musik gambus, musik orkes dan musik gamat pada tahun 1940-1955, ketrampilan musik yang dimiliki; string bass. Gitar, dan sebagai vokalis. Sekarang beliau sebagai tokoh masyarakat di Kecamatan Koto XI Tarusan.

15. Azman BK. adalah sebagai musisi yang meliputi; musik orkes, musik band, dan musik gamat. Ketrampilan musik yang dimiliki; gitar, accordeon, semenjak tahun 1961. Beliau juga sebagai pelopor pembahuruan pada setiap dekade perkembangan musik di Kecamatan Koto XI Tarusan.

16. Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, p. 108.

17. William A. Haviland, 1993, Antropologi, jilid 2, Terjemahan R.G. Soekadijo, Erlangga, Jakarta, p. 248.

18. Ibid., p. 251.

19. Edy Utama, “Budaya dan Seni Pertunjukan Rakyat Minangkabau dalam Perubahan Sosial: sebuah Pandangan dari Dalam”, dalam Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora Ke-5 Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 8-9 Desember 1998.

20. Selo Soemardjan, op. cit., pp. 21-25.

21. John E. Kaemmer, op, cit., p. 179.

22. Sutan Darwis Op. cit.

23. Nazaruddin Op. cit.

24. Azman BK Op.cit.



[1]A.A. Navis, 1982, “Seni Minangkabau Tradisional Sumbangan Budaya Dalam Pembangunan Nasional”, dalam Analisis Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta, p. 96-97.

[2]Rusli Amran, 1988, Padang Riwayatmu Dulu, CV. Yasaguna Jakarta, p. 192.

[3]Christine Dobbin, 1992, Kibangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, Terjemahan Lillian D. Terjemahan, INIS, Jakarta, p. 74-75.

[4] Ibid., p. 151-152.

[5]Hamka, 1984, Islam dan Adat Minangkabau , Penerbit PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, p. 11.

[6]Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Sumatera. Firman Hasmar, Medan. p. 467.

[7]Rusli Amran, 1981, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan, Jakarta, p. 80.

[8] Op. cit., 1988, p. 149.

[9]Rizaldi, 1995, Musik Gamat Di Kotamadya Padang: Sebuah Bentuk Akulturasi Antara Budaya Pribumi Dan Budaya Barat, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, p. 135.

[10]Ibid, p. 66-68.

[11] Khatib Mahyuddin, adalah sebagai; ulama, khatib, Imam, dan musisi di daerah Kecamatan Koto XI Tarusan. Sebagai musisi beliau memiliki ketrampilan musik; harmonium, benyol, semenjak tahun 1930-1945, sedangkan dikia rebana serta vokalis semenjak tahun 1945-1980, (pengertian orkes hanya sebagai penamaan kelompok musik, pen).

[12]Ibid.

[13]Nazaruddin disamping sebagai musisi musik gamat, baik yang bentuk pertunjukannya dipentaskan maupun berbentuk prosesi, beliau juga seorang guru atau pelatih musik gamat di Kecamatan Koto XI Tarusan. Ketrampilan musik yang dimiliki; biola, dan gitar, sudah dimulai sejak tahun 1935 sampai sekarang

[14] Sutan Darwis adalah sebagai musisi yang meliputi; musik gambus, musik orkes dan musik gamat pada tahun 1940-1955, ketrampilan musik yang dimiliki; string bass. Gitar, dan sebagai vokalis. Sekarang beliau sebagai tokoh masyarakat di Kecamatan Koto XI Tarusan.

[15]Azman BK. adalah sebagai musisi yang meliputi; musik orkes, musik band, dan musik gamat. Ketrampilan musik yang dimiliki; gitar, accordeon, semenjak tahun 1961. Beliau juga sebagai pelopor pembahuruan pada setiap dekade perkembangan musik di Kecamatan Koto XI Tarusan.

[16]Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, p. 108.

[17] William A. Haviland, 1993, Antropologi, jilid 2, Terjemahan R.G. Soekadijo, Erlangga, Jakarta, p. 248.

[18] Ibid., p. 251.

[19]Edy Utama, “Budaya dan Seni Pertunjukan Rakyat Minangkabau dalam Perubahan Sosial: sebuah Pandangan dari Dalam”, dalam Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora Ke-5 Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 8-9 Desember 1998.

[20]Selo Soemardjan, op. cit., pp. 21-25.

[21]John E. Kaemmer, op, cit., p. 179.

[22]Sutan Darwis Op. cit.

[23]Nazaruddin Op. cit.

[24] Azman BK Op.cit.